Selasa, 04 Maret 2014

Karakter Buku Best Seller

Beberapa buku bestseller dunia telah saya baca. Tidak membaca isinya, minimal saya pernah membaca judulnya. Artinya layak juga saya berpendapat tentang ciri-ciri buku bestseller. Namun di sini, karena yang akan saya sebutkan satu ciri saja, maka judul di atas saya ubah di sini menjadi "Ciri Buku Best Seller."

Ciri paling menonjol dari buku bestseller, menurut pengamatan saya, adalah buku yang kalimatnya mengandung pesan bagus. Yaitu buku yang berapa kalipun Anda membaca, selalu Anda dapatkan hal baru dari dalamnya. Sudut pandang baru, tafsiran baru, kesan baru, akan Anda dapatkan setiap kali Anda telaah kalimatnya. Buku yang membuat Anda, tidak merasa cukup hanya membacanya satu kali. Tapi membuat Anda ingin membacanya berkali-kali. 

Ide tulisan ini saya dapatkan, setelah sekilas membaca dua buah buku bestseller Internasional. Keduanya ada di hadapan saya sekarang. Pertama, Tuesday with Morrie karya Mitch Albom, kedua. The Roadless Travelled karya M. Scott Peck. Setelah saya baca, keduanya punya kesamaan. Kalimat-kalimatnya, banyak yang mendalam, mengandung hikmah dan pelajaran. 

Dalam buku Tuesday with Morrie, banyak bertebaran kalimat-kalimat hikmah tentang makna hidup. "Sebenarnya Mitch, begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, itu sama dengan belajar bagaimana kita harus hidup."

Sama juga dengan buku The Roadless Travelled--malah saking bagusnya mutiara kata dalam buku ini, banyak buku-buku psikologi mengutipnya. Misalnya dalam masalah kedisiplinan Scott menulis: "Sesuatu yang biasanya tidak bisa diselesaikan sebelum kita dewasa, atau bahkan paruh baya, seringkali tidak bisa diselesaikan sepanjang hidup kita."

Untuk membangun kalimat seperti itu, saya kira tak mudah. Banyak hal kita perlukan. Tapi saya, hanya bisa menyebutkan tiga. Pertama, bacaan yang luas. Kedua, pengalaman. Ketiga, kebiasaan menulis. Bacaan luas menambah pengetahuan dan sudut pandang baru, yang lebih aktual dan lebih segar. Pengalaman memberikan perasaan sesungguhnya akan suatu hal, sehingga, ketika nanti diungkapkan, itu benar-benar terbit dari endapan perasaan yang berkumpul dalam jiwa. Dan kebiasaan menulis memberi otomatisasi pada pikiran untuk merangkai kata baru dan ungkapan baru.

Bagaimana dengan menulis seenaknya yang sering saya sampaikan?

Menulis seenak, sebenanya itu tahap pertama. Ketika ide kita curahkan, maka jangan ada apapun pengahambat. Seenaknya, sesukanya, seasyiknya, itulah yang harus kita lakukan pada tahap awal menulis. Dan saat tulisan sudah terhampar, masuk tahap pengeditan, maka di sinilah kita benar-benar memulai kerja.

Di sinilah kita mulai mengurus, bagaimana sebuah bagian nyambung dengan bagian lainya. Bagaimana sebuah kalimat nyambung dengan kalimat lainnya. Bagaimana sebuah paragraf hanya menampilkan satu pikiran utama. Di mana penempatan kalimat utama. Sudahkah penempatan semua kata dan kalimat sesuai keinginan kita.

Dan dalam tahap editing inilah seorang penulis bekerja keras, mengolah kalimat, memberinya energi, gizi, bentuk, bedak, dan lipstik hingga benar-benar menjadi cantik, supaya nanti ketika tulisan ini terlempar ke tengah khalayak, tulisan ini benar-benar menarik pembaca, di belahan dunia mana pun, membuat mereka mau mendekat, memeluk, dan berhubungan intim dengannya.

Saya kira, begitulah karakter tulisan bestseller.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar