Sabtu, 15 Maret 2014

Workshop Traveling: Takut Digoda Kuntilanak

Turun di Stasiun Kereta Jatinegara harusnya saya beli tiket. Ini tidak, saya langsung naik KRL. Akibatnya di dalam, terus tengok kanan kiri, khawatir ada secuity.

"Mas, maaf tiketnya!"
"Tidak ada Pak! Saya tidak punya!"
"Tadi tidak beli?"
"Tidak."
"Terus, kenapa berani naik?"
"Ya beranilah Pak, masa naik kereta saja takut."
"Seharusnya Anda beli tiket!"
"Emh, keretanya bisa mundur lagi nggak pak?"
"Tidak bisa!"
"Nah, seharusnya bisa Pak. Pemerintah, seharusnya memberikan layanan terbaik kepada rakyatnya."
"Ya, itu kan tidak mungkin!"
"Sama tidak mungkinnya dengan saya harus balik ke stasiun beli tiket!"
"Tujuan Anda mau ke mana?" Tanya secuity itu.
"Ke Stasiun Tanah Abang!"
"Sebab tak punya tiket. Maaf, sebentar lagi kereta mau berhenti. Silahkan Mas turun!"
"Tapi kan Stasiun Tanahabang masih jauh."
"Iya, itu salah Anda. Anda tak punya tiket!"

Tiba-tiba kereta berhenti.

"Nah, silahkan mas keluar!" Kata secuity.
"Bisa bapak contohkan bagaimana cara keluarnya?"

Secuity mencontohkan: melangkah keluar, turun, dan ketika itu, kereta kembali melaju. Pintu tertutup. Secuity itu tertinggal.

Bebas?

Benarkah?

Belum. Pas saya turun di Stasiun Tanahabang, orang menuju pintu keluar. Saya ikuti mereka, tampak pintu itu terjaga orang. Pintu itu terhalangi palang besi, yang baru mau terbuka, jika orang memasukkan tiket. Sadar, saya sudah terperangkap.

Ada 3 cara buat saya lolos. Pertama, saya buntuti orang, lalu ikut menerobos bersamanya. Kedua memberanikan diri ke sana, meloncat. Ketiga, saya susuri sekeliling stasiun ini, siapa tahu ada celah buat keluar. Dua pilihan pertama tak mungkin, saya penakut, jadi saya pilih yang ketiga. Menyusuri tepian stasiun.

Tampak sebelah sana perhentian gerbong kereta. Gerasi mungkin lebih tepatnya. Saya berjalan ke sana, sambil berharap, sebelah belakangnya garasi itu menyediakan pintu keluar. 

Tampak beberapa orang mengurus mesin, dan saya berusaha memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan diri, takut ketahuan saya buronan. Buronan tiket. 

Kawasan mengerikan itu saya masuki. Beberapa gerbong tua barkarat terdiam bengong. Rerumputan liar bertumbuhan di atasnya. Tak berani menengok ke dalam gerbong, takutnya seekor kuntilanak tiba-tiba nyengir, mengajak saya mesum. Saya takut tergoda. Sudah seminggu lebih jauh dari istri. 

Saya perhatikan benteng semuanya tertutup. Bagian atasnya terpagari kawat berduri. Naik ke sana, selain berbahaya, juga bisa mengundang curiga. Kalau loncat lewat sana, turunnya ke dapur rumah orang. Saya belum siap diteriaki maling.

Akhirnya cuma diam. Termenung. Memikirkan nasib kenapa semalang ini. Tersesat. Tak tahu lewat mana mesti keluar. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah malang, tambah lagi tegang. Tampak dari jauh, pria gemuk hitam tanpa baju berjalan mendekat. Dari wajah kumalnya, sepertinya dia stres. Mending kalau stress, bagaimana jika dia ahli ilmu falak. Kemudian memalak uang saya, wah ini bahaya. 

Secepatnya saya lari. Lewat lagi ke garasi gerbong, dan ketika itulah tampak seorang berseragam lewat. Mungkin dia orang kantor perkeretaan. Saya mengikutinya kemungkinan dia mau keluar, ternyata tidak. Namun setelah dia berbelok, saya lihat sebuah gerbang keluar. 

Bebas lagi.......

(Catatan: Percakapan dengan secuity tadi fiktif, aslinya, tidak ada satpam nanya saya di kereta)

Workshop Traveling: Dimas Joko dan Orang Edan


Dimas Joko. Saya memanggilnya Mas Dimas.
Kadang risih ketika memanggil dia dengan sebutan Mas
Khawatir dikira nyebut Nama. Dan ini sebagian cerita tentangnya, dalam buku memori penulis edan.

Malam itu dia menegur supaya saya memperbaiki dokumen rusak. Dokumen itu punya salah satu member KBM. Hasil kerja keras orang. Dia mengingatkan saya secara baik-baik, namun dengan hati busuk, saya menerimanya salah. Saya anggap dia memojokkan saya. Maka saya kobarkan kebencian padanya. Ketika dia minta maaf, saya membalasnya dengan perdebatan, kata-kata kurang ajar, dan segala ungkapan menyakitkan. Itulah sekelumit kisah awal saya berkenalan dengannya.

Waktu itu, saya mengenalnya sebagai penulis puisi. Beberapa puisinya mendapatkan simpati orang. Banyak yang mengapresiasi, bahkan meminta pengajaran tentang puisi padanya. Akan tetapi saya, dengan seenak perut, dan tanpa perasaan, saya katakan puisinya buruk. Sungguh itu kelakuan buruk yang, jika itu menyerang seorang mental tahu, susah baginya buat memaafkan. Lebih buruk dari itu, saya menyudutkannya dengan  beberapa ayat Al-Qur'an. 

Saya katakan padanya, penyair membawa kesesatan. Para pengikutnya adalah, para manusia yang bergelimang kesesatan. Dan saya katakan, semua itu ada dalam Al-Qur'an. Mas Dimas minta saya menunjukkan ayatnya. Beberapa kali saya berkelit, tidak mau menunjukkan ayat itu. Mas Dimas mendesak, begitu juga temannya. Saya terus berkelit, tidak mau menunjukkannya. 

Namun akhirnya, dengan sombong, saya tunjukkan juga ayat itu. Sambil tertawa-tawa, penuh kepuasa, bersama kekasaran. Sungguh nista. Al-Qur'an mulia, yang seharusnya saya tunjukkan dengan santun, ini malah saya bawakan dengan sikap jahat.

Karena dalam posisi benar, Mas Dimas dapat dukungan. Sebagian besar member KBM meminta saya bersikap baik. Sebagian lain melecehkan, dan itu wajar, sebab saya memulainya. Cara saya berdebat di luar batas, dengan kata-kata yang biasa terlontar, dalam berbagai perdebatan agama. Hingga ujungnya.....

Mas Dimas minta saya berhadapan langsung. Facebook terlalu bebas untuk sewenang-wenang. Dunia online, terlalu lapang buat ngomong seenaknya. Maka dia minta saya debat dunia nyata. Dunia nyata lebih bisa mengadili, mana orang berani mana yang tidak. Mas Dimas menantang. Namun sayangnya, saya yang pengecut menolak. Ampun-ampunan, dan menyatakan diri menyerah. Tidak sanggup.

Di situ saya terdiam. Meski beberapa puisi, masih tetap menyemburkan umpatan.

Semakin lama saya perhatikan, Mas Dimas makin berkembang. Dia tidak stagnan. Tulisannya semakin bagus. Ungkapannya semakin bernas. Kalimat-kalimatnya berisi. Dia sering mengajarkan diksi, dan diksi itu dia amalkan sendiri. Dia sangat mencintai sastra, dan satra itu dia curahkan pada cerpennya. Beberapa baris saja orang membaca, kata-kata indah langsung berguliran ke dalam dada. Hingga puncaknya, saya lihat, tulisan dia masuk Republika. Bukan hanya itu, salah satu buku terjemahannya pun terbit. Terjemahan buku Karen Amstrong, berkisah tentang Muhammad Saw. Di sanalah saya angkat topi, kemudian malu, dengan segala kelakuan diri.

Saya coba mengajukan pertemanan, supaya langsung meminta maaf--lewat inbox, atau langsung menulis ke wallnya. Akan tetapi beberapa lama. Lamaran saya dia diamkan. Saya coba mengetuk pintu, namun penghuni rumah, sepertinya masih mempertanyakan ketulusan saya. Hingga akhirnya, setelah bulan-bulan berlalu, dan mungkin Mas Dimas melihat saya serius nulis (lebih tepatnya sih gila nulis) dan rasa tak sukanya pada saya mungkin sedikit mereda, akhirnya, dia terima ajuan pertemanan saya. Saya minta maafnya, dan dia maafkan, meski saya tahu, sikap bajingan saya susah dilupakannya. Saya katakan padanya, ingin sekali menemuinya, mengunjunginya langsung ke Yogya, minta maaf, dan ngobrol akrab dengannya. 

Akan tetapi semuanya, sebatas keinginan, sebatas harapan, nyatanya entah kapan. Yogya, bagi saya terlalu jauh, membutuhkan banyak pengeluaran. Karenanya pikir saya, sampai kapan pun, bercakap dengannya akan sebatas facebookan.

Namun dugaan itu keliru. Episode worskhop bercerita lain. Pada hari special itu, saat saya masuki ruangan, Pak Agung katakan pada saya: "Dimas Joko pun ada."

"Oh ada?" 

"Ya, ada tadi pake baju merah."

Oh Pak Agung, boleh saya tahu, apa maksud Bapak tiba-tiba memberitahu saya ada Dimas Joko? 

Jawabannya dalam hati bapak, akan tetapi
Kalau boleh menebak, pasti karena Bapak katakan Dimas Joko ada di sini
Karena Bapak mau tahu bagaimana reaksi saya
Berani atau.....kabur terbirit-birit, mengingat hari-hari lalu, sudah kurang banyak bersikap kurang ajar pada Mas Dimas.

Akan tetapi saya, sebagai manusia mental tempe, yang sesekali mau kelihatan gentle, mencoba gembira mendengar kahadiran mas Dimas. Pada Pak Agung saya tanyakan: "Di mana dia sekarang?."

Tapi ini sejati, saya memang bahagia. 
Artinya, minta maaf langsung padanya tak harus ke Yogya, 
Mas Dimas ke sini, datang dengan sendirinya, takdir menggariskan kami harus bertemu di Jakarta. 

Tak tahu muncul dari mana, Mas Dimas sudah berdiri di sana, di jajaran kursi paling atas. Bergegas saya hamiri, mencium tangannya, dan mengatakan, inilah saya: Dana. Ya, inilah dana, orang tengil, banyak omong, tukang debat, berani di online, namun cetek di offline.

Dia menyambut saya, dengan santunnya, dengan ramahnya
Kami saling menyentuhkan pipi. Kanan kiri. 
Kemudian setelahnya, meski singkat, kami berbincang akrab.

Seekor elang menukik tajam, menuju bumi, menembus mendung, menerjang badai, dan mendarat dengan sempurna. Kini dia tengah bersantai, sejenak turun ke pantai, mencelupkan patuknya ke laut, mencicipi asinnya, sebelum akhirnya kembali ke ranting, merasakan ketenangan, dalam diam. Bukan elang gagah. Hanya elang kurus, yang bulunya nyaris gundul, dan itulah saya, yang terdiam keesokan harinya, di rumah  Pak Isa, mendengarkan Mas Dimas Joko, berbagi ilmu dengan ucapan-ucapan mantapnya.

Workshop Traveling: Agung Pribadi Dalam Catatan Saya

Masuk ruangan workshop, dominan nuansa merah. Kursi merah, lantai merah. Kursi-kursi itu tertata rapi, pada wahana bertangga-tangga. Ruangan begitu simpel, nyaman sekali buat acara. Flamboyan, itulah nama cantiknya. Memang benar-benar flamboyan: mungil, tapi mewah....

Di sudut sana, pada kursi paling depan, duduk seorang pria berkecamata. Segar sehat badannya, putih bersih wajahnya, tanpa mau menunda, saya langsung menghampirinya, mencium tangannya, dan dengan hati-hati, mengajaknya bicara.

"Pak Agung, bagaimana sehat?"
"Alhamdulillah."
"Pak, buku GGI itu sengaja ditulis buat humor? Bacanya buat saya tertawa-tawa."
"Iya memang itu buku sengaja dibuat lengkap, humornya ada, tragedinya ada, sejarahnya ada, motivasinya pun ada."

Saya lupa percakapkan kami berikutnya apa. Yang jelas, Pak Agung menceritakan, pengalaman orang lain yang membaca bukunya tidak jauh beda dengan saya, banyak tertawa-tawa. Saya katakan langsung pada Pak Agung, sampai sekarang belum mau menamatkannya. Sudah dekat ke halaman akhir, sengaja saya tunda, tak mau buku itu cepat habis. 

Seterusnya, saya lebih banyak diam, tak juga banyak tanya, khwatir merusak suasana. 

Pak Agung bukan orang biasa, dia banyak ilmu. Kami tidak selevel. Ngobrol banyak padanya, takut buat dia kehilangan selera. 

Di tempat ini, dari tadi pak Agung duduk menyendiri. Bisa jadi sedang nunggu wangsit, buat ide buku terbarunya. Jadi, saya hanya menunggunya bicara. Dan dia diam saja.

Wajah Pak Agung ini masih sangat muda. Segar, sangat berbeda dengan wajah facebooknya. Bukannya kurang ajar, ini jujur saja, saya katakan, foto Pak Agung pada facebook kesannya dewasa. Terlebih pada cover bukunya. Khas wajah para petinggi negeri kita Namun kenyataannya beda, pas saya bertemu langsung dengannya, wajahnya masih tampak muda, mirip-mirip wajah para guru pesantren, yang kesehariannya bergelut kitab dan pena.

Lama kami terdiam
Membuat saya kemaluan sendiri. 
Emh maksudnya, saya jadi malu sendiri.  
Pindah ke kursi lain, ke sebelah atas sana, ke dekat si manis, Richie.

*  *  *

Malam setelah workshop, saya bermalam di rumah penerbitan Pak Isa. Semalaman online, paginya online lagi. Bakwa shubuh sampai siang, hingga tak terasa, sudah masuk jam kerja. Saya online di lantai 3, lalu dari arah tangga, muncul sang tokoh utama:

"Eh Dana, maaf nih saya terlambat!"

"Kenapa terlambat Pak? Pak Agung harusnya tepat waktu!" Bentak saya.

"Jalanan macet Dan!"

"No Excuse! Yang namanya terlambat ya terlambat! Sebagai hukuman, silahkan Bapak berdiri satu jam di sudut sana!"

"Tidak ada pilihan lain Dan?"

"Tidak ada. Pelanggar sudah seharusnya dihukum!"

"Bagaimana kalau saya bayar 400 rebu. Kamu mau? Saya banyak tugas, mau langsung kerja!"

"500 ribu saya mau!"

"Adanya 400 ribu."

"Ya tidak mengapa. Mana. Sini!"

Pak Agung menyerahkan uangnya. 

Haha, sekedar canda. Andai saya berani begitu, mungkin Pak Agung langsung telfon: "Pak Isa, maaf ini Dana belum diberi obat Pak!"

Siangnya dia mengajak makan. Lagi-lagi saya hanya terdiam. Bingung.

"Makan dulu atau sholat dulu nih?" tanyanya.

Saya diam. 
Armiadi dan Alie Isfah memberi pandangan. 

Makan dulu atau solat dulu?
Makan dulu, ingat solat waktu makan
Solah dulu berarti ingat makan waktu sholat
Lebih baik ingat solat waktu makan dari pada ingat makan waktu sholat.

Okelah Ayo!

Pak Agung keluar. Bersama Alies Isfah dan Armiadi Asamat, saya membuntut.

Menuju bawah Gedung Depok Mall. Sampai sana mata saya liarr. Ruang bawah tanah itu ternyata punya super market. Punya restaurant-nya juga. Beberapa orang, tampak makan di sana. 

Oh baik nian hati Pak Agung. Akan membawa kami ke sana. Di samping mall itu, perlahan kami melangkah, sambil mata saya, berkali-kali mencuri pandang, ke dalam restaurant, melihat orang orang. Tampaknya mereka, sedang menikmati ayam, daging panggang, stik kentang. Terus melangkah, melangkah, dan melangkah, saya heran, kenapa jalan Pak Agung lurus. Terus melangkah, saya makin heran, ini semakin jauh dari pintu muka. 

Mungkin Pak Agung mau lewat belakang, untuk mendapat harga murah. 

Ternyata tidak. Langkah Pak Agung menjauhi mall....hingga tiba ke depan mesjid.

Jadi?
Jadi pak Agung mau sholat dulu?

Waduh. 
Saya tak bawa sarung. 
Ini celana, sudah dua hari belum ganti.
Ini satu-satunya celana yang saya bawa, sudah pesing. Terpaksa kembali pulang, ke rumah penerbitan, bersalin, bersuci, kembali ke mesjid, Pak Agung dan kawan-kawan sudah tak ada, Entah ke mana mereka.

Jumat, 14 Maret 2014

Semobil Dengan Keluarga Penulis

Semobil dengan keluarga penulis. Bagi saya, itu bukan lagi mimpi. Sepulang workshop, itu saya alami. 

Pak Isa yang baik hati, mengajak serta di mobilnya. Dan bagai anak kucing, saya ikut dengan senang hati.
Dan pengalaman itu.....sesuatu banget! Soalnya, selama ini, yang namanya Asma Nadia itu cuma gambar, cuma buku, cuma tulisan...dan ketika saya buka youtube, juga cuma video. Itu pun sekilas-sekilas saja. Dia memang ada di facebook, tapi hadeuhh, komunikasi dengannya susah. Sekali muncul tulisannya, udah gak datang-datang lagi, udah gak bisa ditanya lagi. Orang-orang berkerumun datang, ngak-ngak-ngok, prat-pret-prot, cas-cis-cus mengomentari postingannya, dia cuek aja. Sekali waktu, saya candai mbak Asma dengan melecehkan bukunya lewat tulisan "Assalamualaikum Beijing Seharusnya Dilarang Beredar.", baru deh mbak Asma muncul, minta link blog: "Dana, linknya dong!" katanya. Sudah saya kasih link blog, ya sudah, dia ngilang lagi. Jangankan balas ngomen, nge-like aja tidak. Datang sekali, langsung kabur lagi. 

Tapi sekarang tidak. Dia ada, duduk di jok depan, di samping putrinya, di depan suaminya, yang duduk di samping saya, Pak Isa.

Sejak menganal fiksi Islami, nama Asma Nadia langsung ke hati. Saya tak malu buat jujur-jujuran, kalau baca buku mbak Asma, saya suka habiskan sampai kulit belakangnya. Waktu itu, sedang gencar-gencarnya tren fiksi islami. Berbagai nama bermunculan. Bagai pop corn dalam penyangrayan. Dan dari semua penulis yang ada, saya senang banding-bandingkan, siapa yang tulisannya paling mengesankan. Bukan mengada-ada, pilihan saya jatuh pada buku Asma Nadia. Karenanya, semoga Anda percaya, waktu sekolah, saya rela habis banyak uang buat beli bukunya. Pernah pula beli majalah Annida, cerpen mbak Asma ada di sana. Wah, sampai berkali-kali saya mengulangnya, Saya tak percaya bakal ketemu langsung dengan orangnya.

Bagaimana dengan Pak Isa?
Mulai mengenal namanya, saya memandang Isa Alamsyah adalah sosok misteri. Namanya paling muncul pada biografi singkat di bagian belakang novel Mbak Asma.

"Nama asli penulis ini Asmarani Rosalba. Suami Isa Alamsyah ini...dst."

Isa Alamsyah? Siapa Isa Alamsyah?`

Pengusaha terkenalkah? Politikuskah? Ilmuwankah? Cendikiawan? Pejabat teras atas? Saya belum pernah mendengarnya. Jadi, untuk nama yang satu ini, tidak membuat saya penasaran. Pada awalnya. Hingga.....

Suatu hari, datang kiriman sekardus buku dari Rumah Baca Asma Nadia. Kardus itu saya bongkar, dan di dalamnya, saya menemukan sebuah buku dengan format besar. Buku itu bergambar seseorang, dan saya tahu dia siapa setelah membaca nama penulisnya, Isa Alamsyah. Buku itu berwarna merah dengan label bestseller, saya langsung penasaran ingin membuka isinya. Luar biasa, masuk ke halaman mana saja, langsung mendapatkan mutiara. Bertaburan di dalamnya kisah-kisah, dan semua kisah itu sangat berharga. Penulis menyusunnya dalam format misteri yang membuat pembaca merasa penasaran. Misalnya ketika dia mau mengisahkan pemeran Rambo, dia memulai kisahnya tanpa menyebutkan nama. Dia menyebut, seorang pria, seorang bocah, seorang wanita, dan seterusnya. Buku itu seharusnya tersimpan di rumah baca, namun saya, dengan licik malah membawanya ke rumah. Itu buku berharga, No Excuse! Wah dari judulnya saja sudah memberikan tenaga.

Kepada penulisnya?
Haha, masih juga belum penasaran. Saya kira Isa Alamsyah sekedar pembicara, motivator, dan seorang pembicara, bagi saya bukan seorang istimewa. Orang-orang seperti ini, sudah banyak saya dengar. Saya hanya tertarik pada bukunya, bukan pada orangnya. Hingga suatu ketika, akhinya saya tahu juga satu hal besar dari seorang Pak Isa.......

Dan itu terjadi ketika saya gila facebook. Seorang teman memasukkan saya ke dalam sebuah grup, Komunitas Bisa Menulis, dan saya perhatikan, ini grup cukup aktiv dan serius. Akan tetapi saya heran, dalam grup ini saya tidak bisa menulis. Wall tidak tersedia, tapi akhirnya mengerti. Hanya admin saja yang bisa nulis di sana. Apalah daya, akhirnya saya hanya bisa ngomen. Beberapa tulisan orang telah terangkat ke wall, dan saya hanya bisa ngomen.

Dalam gerak-gerik saya berikutnya, tidak sengaja saya merusak dokumen orang.  Pemiliknya nangis, dan yang lain, mendamprat saya dengan segala sebutan. Semua nyaris kerjasama menyudutkan saya. Dan saya bingung, ini tidak sengaja. Malam semakin larut, dan dalam kebingungan itu datang sebuah akun........

Akun ini......
Bergambar profil cover buku.....
Cover buku itu, sangat saya kenali, sampulnya merah, bergambar seseorang
Seseorang yang selama ini, saya anggap jauh, jauh, jauhhhhhh sekali
Seseorang yang selama ini, saya kira, takkan bisa dengannya berkomunikasi

Isa Alamsyah....

Dia datang.....sebagai admin, selayaknya dia mendamprat saya, memarahi saya, dan mencaci maki saya, tapi...dia tidak.

Meski sudah jelas yang merusak dokumen itu saya, dengan hati-hati dia bertanya, "Ini siapa yang mengganti dokumen?"

Cepat saya ngaku. "Saya Pak!"

"Dana, jadikan ini yang pertama dan terakhir ya!"

Melayang, terbang, ke angkasa luas saya serasa dibantingkan, dan mendarat di padang rumput luas. Duduk sila memandang alam, ada seorang anak gembala di sana, menunggang kuda, di kelilingi kawanan domba, dan saya mendengar nyanyian serulingnya yang menyanyikan kedamaian, persahabatan, ketenangan, lukisan indah dunia, kasih sayang orang tua, lagu-lagu rindu, musik melayu......Teman, di sinilah mulai saya melihat Pak Isa berbeda.....dia penulis, pasti banyak baca. Dari sekian banyak bacaannya, dia pasti membaca cara mengingatkan manusia tanpa menyinggungnya.

Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan saya berapada di grupnya, tapi gaya saya, masih tetap seperti yang lama, kontoversial dan pengacau. Tapi Pak Isa?

Paling dia mengingatkan dengan kata:

"Hmmmmmhhh"

"Ini bagaimana kalau dibaca anak-anak ya?"

"Ini Dana kelakuan masih sama aja."

Di sini saya hanya malu dan nyengir. Saya semakin hormat padanya, Pak Isa tak pernah menunjukkan sewotnya. Padahal menurut perhitungan, sudah seharusnya dia menendang saya. Tapi tidak. Semakin lama semakin baik, semakin saya mendapatkan banyak ilmunya, semakin tulisannya nikmat saya baca. Dia menulis spontanitas, saat itu terpikir, saat itu menulis, dan saat itu juga tulisannya langsung menjadi tulisan menarik. Ini orang tidak biasa, pikir saya, maka saya terus menggali informasi tentangnya dengan bertanya langsung padanya, bagaimana masa kecilnya, bagaimana awal mula karir menulisnya, dan bagaiman prinsip hidupnya...dan dia, tidak pernah pelit berbagi ilmu, dia tidak menempatkan dirinya sebagai orang eksklusif alias jual mahal, tapi murah hati, berbagi, akrab, ekspresif, dan tidak pernah takut kehabisan ilmu buat dibagikan......yang membuat perbincangan di rumah bersama istri, banyak yang bertema Pak Isa.

"Tapi dia muslim kan?" Tanya istri saya.

"Ya muslim lah. Sembarangan saja kamu!"

"Itu karena saya perhatikan namanya, kok Isa. Nabi Isa itu kan nabinya orang......."

"Haaahhh! Bukan, dia orang muslim, suaminya Asma Nadia yang jilbaber itu."

Namun sejauh itu, nama Isa Alamsyah sebatas onlen, sebatas gambar, sebatas kata-kata, sebatas tulisan, sedangkan bertemu dengan orangnya? Belum pernah, bahkan buat berharap pun susah. Entah bagaimana caranya.

Tapi sore ini, petang ini, di awal malam ini, saya duduk di sampingnya, mendengarnya, melihatnya, langsung menyimak prinsip-prinsip hidupnya, candaan bersama istrinya, candaan kepada anaknya, sopirnya, dan sedikit drama-drama menarik di rumahnya.....

Memangnya di mobil Bu Asma Nadia bercerita apa saja, ilmu apa saja yang dibagikan Pak Isa, dan bagaimana tingkah Putri Salsa?

Maaf, masalah itu, biar jadi rahasia saya.

Trik Mudah Mengkongkritkan yang Abstrak


Kongkrit itu jelas
Abstrak itu tidak jelas. Dan......
Salah satu keterampilan menulis adalah,
Bisa mengkongkritkan yang abstrak. Membuat yang samar menjadi jelas.

Membuat yang kongkrit menjadi abstrak. Bagaimana caranya?

Mungkin Anda bisa belajar dari Nabi Isa.

Nah, jadi. Mari kita duduk santai
Kita belajar kepada nabi yang satu ini
Bagaimana cara dia mengkongkritkan yang abstrak

Nabi Isa pernah berkata: ""Hai orang-orang Hawariyyin, betapa banyak pelita yang dipadamkan oleh angin. Dan betapa banyak amal ahli ibadah yang dirusak oleh ujub."

Nabi Isa ingin menjelaskan tentang ujub, yang bahayanya bisa merusak amal
Dan kedua kata itu masuk kata-kata abstrak
Kemudian dengan kecerdasannya
Nabi Isa mengkongkritkan kedua kata itu
Dengan mendahuluinya kalimat jelas, terjangkau indra
Dengan mengatakan angin dan pelita, amal dan ujub jadi terbandingkan

Mengkongkritkan yang abstrak
Jangan kira itu rumit
Mudah
Mudah sekali caranya!

Ujub Menimbulkan Kemusyrikan

Kemusyrikan, selama ini orang mengira hanya menyembah roh, menyimpan sesajen di tempat angker, supaya dimakan para dedemit. Selama ini orang mengira, musyrik itu hanya menyembah batu. Musyrik tidak sekedar itu. Ujub mengagumi diri sendiri, bisa menjerumuskan seseorang kepara kemusyrikan.

Kenapa ujub masuk kemusyrikan?

Karena ketika seseorang ujub terhadap dirinya, meskipun dalam bagian yang kecil, maka ia akan melihat hal itu dengan pandangan kagum. Ia akan meyakini dan mengandalkannya dalam meraih manfaat baginya dari perkara tersebut. Ini adalah salah satu macam syirik yang berbahaya.

Ibnu Taimiyyah berkata, "Riya adalah musyrik dengan makhluk, sementara ujub adalah musyrik dengan diri,"
Dr. Muhammad Said Al-Buthi menegaskan makna ini. Ia berkata, "Syirik tidak terbatas pada makna luar yang tidak mendalam, yang tercerminkan dalam menyembah berhala dan yang selain Alloh, atau tercerminkan dalam tindakan salah seorang dari kita yang meminta kepada selain Alloh. Tetap, ia mempunyai makna tersembunyi yang menyelusup karena ketersembunyiannya ke dalam hati dan jiwa kaum muslimin tanpa diketahui dan dirasakan. Itulah sumber bahayanya. Karena setiap kita melakukan amal shaleh, ibadah, atau sesuatu semacam jihad, niscaya syirik yang tersembunyi (terselubung) itu menghancurkan pahalanya dan menghilangkan nilainya, serta mengubahnya dari ketaatan yang diterima menjadi kemaksiatan dan syirik. Alloh berfirman,

"Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada kepada Alloh, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Alloh (dengan sembahan-sembahan lain)." (Yusuf: 106)

Syirik yang tersembunyi ini adalah ketika seseorang melihat dirinya sebagai sumber kekuatan ketika ia berjalan dan bergerak, sumber pengetahuan dan pemahaman jika ia mengetahui sesuatu atau belajar, sumber kepemilikan dan kekayaan jika ia kenyang dan merasakan kenikmatan atau sumber kemenangan dan kegagahan ketika ia mampu melakukan sesuatu atau menguasainya.
Semua itu adalah ilusi semata yang bertentangan dengan hakikat yang darinya manusia itu tersusun. Oleh karena itu, ia bertentangan dengan tauhid, juga bertentangan dengan orang yang mengklaim bahwa ia adalah seorang yang bertauhid, jika ia mempunyai ilusi semacam itu."

Kamis, 13 Maret 2014

Buang Air dalam Kereta

Pemerintah jangan dihujat terus. Sesekali ucapkan terima kasih apa susahnya sih? Fasilitas kereta semakin dilengkapi. Penumpang tak harus kebelet. Ada 2 WC pada setiap gerbong.

Sempoyongan saya berjalan menuju kamar kecil, dan insiden pun terjadi..........

"Keluar! Ayo keluar! Keluar nggak? Heh, ayo keluar! Cepat! Keluar Kamu cepat!"

Susah nian kencing dalam kereta. Dalam ruangan sempit itu, badan saya terbanting-banting. Sedikit mau keluar, surut lagi. Guncangan terus menggodanya.

Sekian kali saya usir, baru air hangat itu mengalir. Sembari menikmati kelegaan, saya perhatikan klosetnya. Dari lubang itu, tampak di bawah papan berlarian. Ini kloset kereta pembuangannya kok langsung ke rel? Berarti kencing saya jatuh ke sana. Sepanjang jalan yang kencing bukan seorang dua orang. Tidak kebayang rel betapa pesingnya. Mending hanya kencing. Bagaimana yang lebih dari kencing?

Kasihan para pekerja perbaikan Rel! Pasti sering mendapai "donat". Kebanyakan pasti donat berantakan!

Tak jauh dari kampus saya, terkenal sebuah jembatan bernama Cirahong. Cirahong adalah jembatan penyebrangan bagi mobil dan motor. Di atas tempat menyeberang mobil dan motor itu, membentang rel kereta. Maka orang paling sial adalah pengendara motor yang lewat jembatan itu, dan secara kebetulan kereta lewat di atasnya. Dari bagian bawah kereta, suka jatuh tetesan-tetesan air. Kadang tetesan itu jatuh ke muka. Howekkkkkk!!!!!