Senin, 24 Februari 2014

Selain Buku Sejarah, GGI Juga Buku Humor (Menurut Saya)


Tapi tunggu.  Rasanya terlalu merendahkan jika saya menyebut ini buku humor. Lebih tepat dikatakan, jika Buku Gara-Gara Indoensia ini buku seribu rasa. Ilmunya ada, kisahnya ada, religinya ada, motivasinya ada, thrillernya ada, bahkan humornya pun ada.

Itu judul sekedar judul saja. Sekali lagi, menyebut ini buku humor, saya tidak tega. Masalahanya, menurut saya, ini buku hebat. Reputasi penulisnya luar biasa. Dia sarjana sejarah, dan sangat serius menekuni jurusannya. Bukan mahasiswa asal-asalan seperti saya. Dia banyak membaca, banyak menelaah sejarah, dan pernah berbicara langsung dengan pelaju sejarah, di samping, dia pun  seorang penulis handal, tulisannya sudah diakui media nasional, yang karenanya, ketika dia rampung menghasilkan buku ini, saya yakin karya ini bagian dari sari pati penting otaknya.

Namun sebagai penulis edan, yang sukanya cuma bersenang-senang, saya cuma mau membahas sisi humornya.

Entah saya gila atau bagaimana, ketika saya membaca buku GGI ini, saya banyak tertawa-tawa. Padahal, tidak sekata pun tertulis, baik pada kata pengantar, isi, maupun ulasan pada sampulnya, keterangan yang menyebutkan, bahwa ini buku humor,  dalam pengantarnya pun tidak. Jika ini memang buku humor, seharusnya pada kata pengantarnya tertulis, buku ini kocak, sangat menghibur, kulit perut Anda bisa sakit membacanya. Ini tidak, bahkan kata pengantar buku ini menulis, jika ini buku motivasi. Berarti fungsi buku ini mengobarkan semangat pembaca. Tapi sekali lagi, saya merasa aneh dengan diri saya, kok saya membacanya sambil tertawa.

Tawa saya dimulai saat membaca kesialan Napoleon, yang kalah perang gara-gara gunung meletus di Indonesia. Ini benar-benar lucu. Bagaimana bisa pasukan ini kalah. Beberapa kali pasukannya memenangkan pertempuran, nyaris tak satu negara pun sanggup mengalahkannya, namun tak disangka, ada negeri nun jauh di sana, yang bahkan belum merdeka, dan penduduknya masih lugu-lugu menjadi santapan penjajah, tapi menjadi penyebab pasukan ini kalah.

 Sudut lain yang membuat saya tertawa adalah, bab tentang Aceh. Satu-satunya kerajaan nusantara yang susah Belanda taklukkan adalah kerajaan Aceh Darussalam. Orang-orang Belanda pusing bagaimana harus mengalahkannya. Mereka terus mengupayakan berbagai cara, hingga Belanda menemukan sesuatu, yang mereka kira ini yang membuat Kerajaan Aceh Darussalam kuat. Namun hasil analisanya ini keliru. Bagian ini pun membuat saya tertawa. Ketika membaca bagian ini saya membayangka, Si bule rambut pirang itu berjalan bolak-balik sambil gigit jari, jidatnya berkerut kencang, kemudian dengan yakin dia berkata: "End sudah beberapa kali Aceh olah, end susah dikalahkan. Ini pasti kalena meleka suka end naik haji. End soalny semua pembelontakan end dipimpin oleh pala haji."

Bagian lainnya pada halaman-halaman pembahasan komunisme. Pak Agung menyebut orang Komunis sebagai golongan sakit jiwa.Seperti pernah kita baca dalam sejarah, kaum komunis melakukan berbagai pembantaian. Pada peristiwa pemberontakan Madiun, PKI menelan ribuah korban. Para ulama, santri, dan sebagian besar ummat Islam mereka tumpas dengan kejam. Beberapa orang ulama dimasukkan ke dalam kandang, kemudian ditembaki dari luar sampai tewas. Beberapa orang anak kiai dimasukkan ke dalam sumur kemudian ditimbun batu. Setahun setelah peristiwa itu, orang-orang komunis dimaafkan. Namun 1965, Partai Komunis merasa di atas angin setelah memenangkan pemilu, dan kembali menyusun makar. Tak segan-segan mereka membunuh setiap orang yang mereka anggap akan menentang ideologinya, termasuk di dalamnya para ulama dan satri. Kali ini umat Islam tidak tinggal diam, para ulama dan santri melakukan serangan balik, dan komunis kalah. Karena kerap kali menimbulkan keresahan, pemerintah membuat kebijakan memberantas komunis hingga ke akar-akarnya. Tapi orang-orang komunis menanggapi kekalahan itu dengan uring-uringan. Mereka mengku diri mereka sebagai korban pelanggaran HAM. Lewat memoar-memoarnya, orang-orang komunis menulis berbagai perlakuan kejam yang mereka terima, tapi kebiadaban mereka sendiri, membantai dan menyembelih ummat Islam mereka sembunyikan. Tidak mereka tuliskan.

Sungguh sakit jiwa moral abad 21
Sungguh sebuah amnesia sejarah yang disengaja.

Kata Pak Agung. Inilah bagian yang membuat saya mau ngakak. Dan masih banyak bagian lainnya, misalnya ketika dia dia menghadiri Seminar yang dihadiri Pramoedya Ananta Toer, pertanyaannya membuat Ananta Toer diam kebingungan.

Sepertinya memang sengaja, Pak Agung menulis buku ini dengan kritis berbumbu humor. Tujuannya jelas, supaya pembaca tidak bosan. Ibarat hidangan mie isntan, variasi sayur dan dan daging di atasnya, bisa menambah selera! Dan memang beginilah tehnik menulis Quantum seperti yang diajarkan Bobbi de Porter dalam bukunya Quantum Learnin, menulis seharusnya dijalani dengan kegembiraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar