Jumat, 28 Februari 2014

Bad News is Good News

Saya yakin, setiap penulis, jujur atau tidak, sebenarnya dia menulis karena ingin tulisannya dibaca. Banyak orang jungkir balik mendapatkan pembaca, dengan mencetaknya, dengan menawar-nawarkannya, bahkan mungkin kalau bisa, dia rela membayar orang agar mau membaca tulisannya. Karena itulah menurut saya, seorang penulis harus tahu, bagaimana caranya membangun daya tarik. Jika tulisan Anda tidak punya daya tarik, menyuruh orang membaca tulisan Anda sama dengan menyiksanya. Itu sama artinya dengan, memaksa orang makan rumput, padahal orang tu sukanya nasi.

Dalam dunia jurnalistirk dikenal Bad News is Good News, berita brengsek adalah berita bagus. Karena semakin brengsek sebuah berita, semakin mudah menarik pembaca. Semakin kontroversial sebuah tulisan, semakin penasaran orang membacanya. Bagi kita orang beragama, tentu saja menggunakan prinsip "Bad News is Good News" ini dalam batas-batas.

Akan tetapi dalam masalah ini, sering muncul bocah ingusan tolol kelas kuda nil--dirinya sendiri tidak becus menarik pembaca, kepada orang lain, yang tulisannya menarik malah meneror. Menyebut menyesatkanlah, menyebut tidak punya otaklah. Sebenanya kalau dia rendah hati, mau belajar, dan mau mengambil kebaikan sekalipun dari keburukan, dia akan mendapatkan sesuatu dari tulisan buruk itu. Hanya sayang seribu kali sayang, bukannya mengedepankan semangat belajar, yang ada malah mengedepankan semangat pamer ilmu, demonstrasi logika, khotbah, dan sikap so tahu. Jadinya, ya dia tidak mendapatkan kebaikan apapun.

Karenanya orang semacam ini, ketika akhirnya dia sendiri membuat tulisan, dia kebingungan. Ingin sebenarnya dia membuat tulisan penuh daya tarik, ingin mencoba menulis dengan judul yang menampar pembaca, hanya saja, karena telah keburu menjelek-jelekkan orang, dia malu untuk beraksi, akhirnya dia membuat tulisan biasa-biasa aja, dengan nafas ngos-ngosan, dengan kepala membesar menjadi sebesar mejikom karena saking penuhnya dengan kebingungan.

Dan lahirlah tulisannya, yang hambar, tanpa manis, tanpa asin, tanpa pedas. Kata-katanya menumpuk tak karuan, seperti tembok runtuh di kebun tak terurus, kemudian bocah kepala buduk ini jongkok di atasnya, menunggu orang singgah membaca, sampai beku, jadi batu, jadi cadas, lapuk, namun jangankan pembaca, laler aja tak mau hinggap. Hatinya teriak-teriak menginginkan pembaca, namun apa daya malu menghalang. Malu dengan dirinya sendiri tadi, tadi terlalu keras kepada orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar