Selasa, 28 Januari 2014

Kisah Seorang Petani (2)

Tapi mungkin perasaan ini, saya sarakan berat karena belum terbiasa saja. Hinaan Asih Juangsih padaku, akan terasa sakit sekarang, nanti setelah terbiasa, akan enak juga. Hidup saya, jangan sampai terhambat hanya dengan memikirkan itu. Otak saya kini, hanya ingin kugunakan memikirkan yang baik-baik saja.

Dan setelah hari ini, saya tenggelamkan diri dalam aktifitas seperti biasanya, mengurus ternah, mengurus sawah, dan memuliakan semuanya. Bukannya menyembah-nyembah, namun saya berusaha mengurusnya dengan sempurna. Saya pelajari pengetahuan yang benar cara mengurus sawah, membaca buku-buku petunjuk dari perpustakaan desa, dan bertanya kepada penyuluh pertanian terdekat. Tak saya sangka, ternyata, asyik sekali ngobrol dengan dia, namanya Insinyur Otong Surotong.

Seperto sore itu di beranda rumahnya. Setelah menyeruput kopi pahitnya, Insinyur Otong meneruskan nasihatnya.

"Padi itu makhluq juga, punya kehidupan, jadi usahakan, jangan sampai menyakitinya. Biasanya para petani, sebelum menanamkan benih padi, daunnya suka dipotong dulu, tidak tahu apa itu tujuannya. Padahal, itu tidak seharusnya. Bayangkan, padi baru juga tumbuh, nyawanya juga mungkin baru punya beberapa, sudah kita sakiti dengan seenaknya, padahal sebelumnya, padi ini sudah dicabut dari persemaiannya, diputuskan akar-akarnya. Iya kan Mang Kardun?"

"Iya pak, betul itu pak. Itu kebiasaa para petani di kampung kita."

"Sudah itu, caranya penyimpanan ke sawahnya juga mengerikan. Si benih padi yang sudah diikat itu, dilempar-lemparkan ke tengah sawah. Ini juga sama, menyakitinya juga. Sesungguhnya Alloh menetapkan kebaikan atas segala sesuatu, kan begitu sabda Nabi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar