Kamis, 30 Januari 2014

Pernyataan Mengkhawatirkan CEO Kompas Gramedia

CEO Kompas, Agung Adiprasetyo menceritakan, saat mahasiswa dia tidak mampu membeli buku. Karenanya, demi mendapatkan bahan skripsi, dia kerap datang Gramedia, mencari buku yang telah dibuka segelnya. Dia catat judul bukunya, dan  mencatat bagian penting isinya. Cerita ini dia sampaikan dalam acara Knowledge Sharing Session, di Kampus II Universitas Sanata Dharma Mrican, 29 Januari 2014.

Agung Adiprasetyo melihat, banyak sekali mahasiswa hidup pas-pasan seperti dirinya. Karenanya, dia meminta kepada semua Toko Buku Gramedia, supaya menyediakan buku yang bisa. Sehingga, jika ada mahasiswa tak mampu membeli, dia bisa membaca isinya. Dengan cara itu, dia berharap Gramedia bukan hanya menjadi toko buku, tetapi juga menjadi perpustakaan tempat orang bebas membaca.

Saya--Dana--khawatir pernyataannya itu mendapatkan kecaman dari Gramedia, perusahaan tempatnya bekerja. Kalau Gramedia tak suka, bisa langsung memecatnya. Karena saya lihat, dia seolah membebaskan orang untuk membaca. Kalau orang bebas membaca, bagaimana orang mau beli? Bisa bangkrut Gramedia nanti.

Saya pernah masuk ke toko buku yang melarang itu. Terpampang pada rak ada tulisan: "Membuka segel berarti membeli.". Saya pikir,  itu sudah seharusnya. Jika orang tidak bisa membuka, dia akan penasaran untuk membeli.

Namun sepertinya tidak. Agung Adiprasetto dalam posisi aman. Dibukanya segel sebagian buku sudah menjadi kesepakatan Gramedia. Buktinya, sudah beberapa Toko Buku Gramedia saya kunjungi, selalu sama, dari setiap buku, selalu ada satu yang bisa dibuka. Dan nyatanya, itu tidak membuat Gramedia bangkrut. Semakin lama, toko buku ini semakin berkembang. Cabangnya terus dibangun di mana-mana. Sebaliknya, toko buku yang mencantumkan larangan membuka segel tadi, sekarang sudah tak terdengar riwayatnya lagi.

Pernyataan Agung itu sebenarnya ide bisnis mutakhir. Di mana bisnis sukses luar biasa biasanya bisnis dengan orientasi memberi. Dengan memberikan kemanfaatan sebanyak-banyaknya kepada orang lain, maka sebuah bisnis mendapatkan umpan balik, berupa pengembalian lebih besar. Ini sudah menjadi sunnatullah di semesta: dengan memberi, pengembalian akan lebih banyak lagi. Ini sudah menjadi kepastian. Abu Marlo malah menyebutnya sudah bukan lagi keajaiban. Kenyataannya, Toko Buku Gramedia juga begitu, keputusan membuka segel, membuat toko buku itu semakin ramai. Orang jadi betah berkunjung ke sana, merasa bebas membaca, dan karena itu, mereka semakin percaya, dan karenanya, jika suatu ketika mereka benar-benar mau membeli, mereka akan berkunjung ke sana.

Bahkan orang yang kerjanya hanya membuka-buka itu pun, suatu saat, bisa jadi membelinya. Jika buku itu benar-benar menarik, enak di baca, berhasil membuat penasaran dari satu halaman ke halaman lainnya, maka orang itu akan berpikir, rasanya lebih enak juga saya membelinya. Saya bisa bebas membaca buku ini di mana saja. Buku ini harus saya beli, membacanya enak, dan isinya, sangat bermanfaat. Maka ketika punya uang, orang itu akan membelinya. Seperti pengalaman saya. Jujur saja, saya tipe orang irit. Membeli buku seringnya berpikir panjang dulu. Sebelum yakin buku itu sangat penting, saya tidak mau membelinya. Lebih suka membuka-buka saja di sana, membaca-baca isinya. Jika ke Gramedia, buku paling menarik yang sangat senang saya baca adalah "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya." Bacaan yang sangat ringan namun penuh kedalaman. Banyak pelajaran berharga di dalamnya. Setiap babnya tersaji pendek, dan karena itu, saya bisa dengan cepat menyelesaikannya.Akibat keseringan baca lama-lama saya jatuh cinta. Timbul keinginan memilikinya. Saya pikir, membeli buku itu tidak akan rugi. Pelajaran berbobot di dalamnya akan sangat bermanfaat buat saya. Dan akhirnya, saya pun membelinya. Tidak tanggung-tanggung, saya membeli buku itu sampai dua. Jilid satu dan jilid tiga.

Mengagumkan ternyata. Keputusan Gramedia membuka segel buku ternyata ide canggih. Mereka lakukan itu karena ingin berbagi ilmu kepada pengunjung, dan timbal baliknya sangat nyata. Pengunjung malah tertarik membelinya. Itu karena, ide memberi itu bersumber dari jiwa keberlimpahan. Sedangkan saya, yang menghawatirkan bangkrutnya akibat buku itu dibuka, yakin, kekhawatiran ini datang dari kekikiran.

Mas Agung Adiprasetyo!
Bravo!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar